Kamis, 30 Desember 2010

Program KB Dibangun Berdasarkan Sistem Kemitraan

SAAT ini, di dalam era reformasi serta semakin dikembangkannya otonomi daerah, posisi sasaran program KB telah lebih mengarah pada masyarakat yang menganut desentralisasi serta lebih demokratis. Dengan demikian, pola pembangunan masyarakatnya pun menjadi sangat berbeda. Apabila sebelumnya dapat dilaksanakan dengan berorientasi pada kelembagaan tingkat pusat, maka kini pendekatannya sudah harus lebih individual serta memenuhi kaidah-kaidah masyarakat yang berlaku pada lingkungan masing-masing daerah atau kelompok masyarakat.
Di lini lapangan, pendekatan yang demikian individual sangatlah membutuhkan tenaga para petugas lapangan dan penyuluh KB (PLKB/PKB). Sementara itu, banyak tenaga PLKB/PKB yang sudah dialihtugaskan untuk menduduki jabatan lain, sehingga jumlahnya saat ini sangat kurang sekali. Dengan berkurangnya jumlah para petugas PLKB/PKB ini maka mekanisme operasional program KB ditingkat lini lapangan boleh dikata ‘mati suri’ apabila tidak ingin disebut berhenti. Hal ini disebabkan karena aktivitas para volunteer (relawan) yang dikenal dengan sebutan PPKBD, para sub PPKBD serta para kader di pedesaan sangatlah bergantung pada kontinuitas motivasi yang diberikan oleh para PLKB/PKB tersebut.
Dengan pola pendekatan kepada masyarakat yang sudah berubah tersebut, serta semakin berkurangnya petugas lini lapangan baik yang formal maupun informal, maka semakin disadari bahwa dalam pelaksanaan program KB, BKKBN tidak dapat bekerja sendiri. Dengan demikian, pola pelayanan di lapangan haruslah lebih banyak melibatkan berbagai sector dan program lain, serta LSOM maupun organisasi-organisasi profesi. Organisasi profesi dimaksud bukan saja organisasi profesi yang hanya terkait dengan masalah kontrasepsi, akana tetapi berkaitan pula dengan berbagai segi karena sasaran penggarapan program KB bukan hanya terfokus pada masalah penggunaan kontrasepsi saja, sebagaimana yang banyak diperkirakan.
Di dalam program KB ada beberapa sasaran, yaitu;
1. Pencapaian peserta KB baru
2. Pembinaan peserta KB agar tetap menggunakan kontrasepsinya
3. Mendorong peserta KB agar menjadikan kesertaanya ber-KB sebagai perilaku atau kebiasaan sehari-hari, sebagaimana orang mandi atau gosok gigi
4. Bagi yang telah menjadikannya sebagai perilaku kemudian diarahkan agar dapat menjadikannya sebagai kebutuhan hidup atau budaya hidup yang sudah harus berlangsung dengan sendirinya sebagai suatu mekanisme. Budaya hidup ini sebagai contohnya yaitu saling menghormati, terutama menghormati orang tua, memperoleh informasi, memperoleh pendidikan formal ataupun informal dan lain sebagainya.
Tampak jelas di sini bahwa pelayanan dalam program KB bukan hanya pelayanan kontrasepsi saja, tetapi yang tidak kurang pentingnya adalah pelayanan advokasi dan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi). Bahkan pelayanan ini boleh dikatakan harus tetap ada selamanya. Karenanya, justru di dalam pelayanan advokasi dan KIE ini sangat dibutuhkan partisipasi dari berbagai profesi di masyarakat. Misalnya para artis, para ahli komunikasi, para ahli demografi, para sosiolog, para wartawan dan banyak lagi dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Dan tentu saja, tidak ketinggalan pula para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang sangat disegani oleh masyarakat.
Sekali lagi kerjasama yang sebaik-baiknya dengan semua mitra kerja adalah merupakan kunvi keberhasilan yang utama. Tanpa kerja sama yang telah dibangun dengan sangat baik sampai saat ini, BKKBN bukan apa-apa.*
(Pustaka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar