Kamis, 30 Desember 2010

KB Ditengah Gempitanya Perubahan

     Ditengah hiruk pikuknya angin perubahan berhembus, berbagai pandangan muncul ke permukaan sebagai reaksi dari perubahan tersebut. Ada yang menyambut positif, namun ada juga yang menentangnya. Ada yang cepat melakukan perubahan, namun tidak sedikit yang hanya berdiam diri saja. Semua berjalan dengan keyakinan masing-masing. Berusaha memberikan yang terbaik bai kehidupannya. Benar idaknya langkah yang diayunkan itu, waktulah yang akan menjawab. Dunia terus berputar, proses pembangunanpun semakin kencang melaju. Siapa yang berdiam diri saja, pasti akan tergilas oleh derap laju pembangunan. Seorang pakar manajemen mengatakan; “Suatu hal yang paling berbahaya dalam mengelola organisasi saat ini, bukan karena adanya turbulensi. Tetapi organisasi itu sendiri tidak mau membuat perubahan menjadi suatu kekuatan dan peluang.” Lingkungan yang dinamis, menuntut organisasi untuk mampu melakukan penyesuaian dari perubahan. Bagaimana mungkin suatu organisasi bisa tegak berdiri di tengah badai perubahan. Sementara yang lain berlari kencang menuju perubahan
     Perubahan secara berkesinambungan dan konsisten adalah upaya bijak untuk menjawab perubahan itu sendiri. Peradaban manusia sudah bergeser, manusia menuntut yang lebih baik dari kualitas hidupnya. Hidup serta instan di alam yang transparan penuh tantangan. Era teknologi informasi, menyingkirkan penyekat-penyekat yang ada. Secanggih apapun tirai dipasang tidak mampu menahan perubahan itu. Derasnya arus perubahan yang melanda berbagai belahan dunia, hinggap juga di negeri ini. Pada kondisi demikianla kita berada sekarang. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mampu membaca perubahan zaman secara bijak? Dari kehidupan berbasis pertanian, berubah menjadi kehidupan berbasis industry. Dan saat ini, kehidupan berbasis informasi dan ilmu pengetahuan. Mengutip pendapat Igor Ansoff (Implanting Strategic Manajemen), ada lima tahapan kehidupan yang bersifat unik yaitu (i) repetitive (pengulangan), (ii) expanding (berkembang), (iii) changing (berubah ubah), (iv) discountinous (terputus-putus), dan (v) supriseful (kejutan). Indonesia memasuki tahapan keempat dan kelima. Sehingga berbagai proyeksi pembangunan semakin sulit diterjemahkan, mengingat perubahan eksternal tidak bisa diduga.
     Menghadapi perubahan yang demikian cepat dan bersifat tidak pasti (uncertainty), sulit dikendalikan (uncontrollable), serta sulit diprediksi (unpredictable), salah satu yang sangat strategis adalah memperkuat kemampuan manajemen internal terus menerus, guna menghadapi perubahan yang cepat. Para furulogists berpendapat ada beberapa factor yang dijadikan pemicu dari perubahan tersebut yaitu ; 1. konfigurasi sumber daya manusia, 2. Terobosan dan temuan di bidang teknologi, 3. Arah perkembangan ekonomi yang sulit ditebak, 4. Tingkat persaingan di segala lini semakin ketat, 5. Gejala social menyeruak ke depan, 6. Terjadi pergeseran nilai dan etika, 7. Politik mengambil peran besar. Ketujuh aspek inilah yang terus menekan proses perubahan di segala lini kehidupan sekarang. Tanpa memberikan ruang gerak untuk berkelit. Konfigurasi sumber daya manusia secara kualitas dan kuantitas berkembang. Teknologi membantu manusia untuk bergerak semakin cepat. Strategi ekonomi yang rumit dan berfluktuasi terus menerjang. Persaingan semakin tidak terbentung. Dinamika dan konflik social merebak di mana mana. Nilai dan etika serta agama mulai ditinggalkan, logica muncul ke depan. Politik menjadi panglima akhir akir ini. Bagaimana kita mengemasnya secara cerdas sehingga semuanya menjadi peluang untuk maju.
     BKKBN merupakan salah satu lemaga milik pemerintah, saat ini cenderung berada “disimpang jalan”. Dengan segudang tugas mulia untuk menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk, menjadi gamang dalam era otonomi daerah. Ujung tombak program yang berada di tingkat desa, secara structural bukan wilayah wewenangnya lagi. Bahkan BKKBN tingkat propinsipun tidak punya hak untuk itu. Desa bertanggung jawab ke kecamatgan, tanggung jawab program bermuara di kabupaten/kota. Inilah konsekwensi logis pelaksanaan dari otonomi daerah. Pada awalnya memang terjadi ‘gegar budaya’ di lingkungan kabupaten/kota dan juga di lingkungan BKKBN sendiri.
     Secara psikologis pun terjadi penolakan-penolakan, karena berbeda dari kebiasaan. Sangat manusiawi hal itu terjadi, bahkan untuk semua departemen/instansi apabila kewenangannya dikurangi, terjadi ‘gegar budaya’. Waktu akhirnya dengan cepat program berjalan kembali, karena mekanisme kerja pada tataran lapangan selama ini cukup padu. Persoalan lain muncul, bagaimana mengkoordinasikan kegiatan tersebut? Seberapa jauh wewenang BKKBN untuk menerapkan program, atau menerima laporan dari tingkat kabupaten? Tidak sedikit kita dengar paket-paket yang ingin diluncurkan propinsi atau pusat, berseberangan dengan pola kabupaten. Bagaimana menjembatani ini semuanya? Dengan mata telanjang terasa bagaimana akrobatik ‘raja-raja kecil’ di daerah menunjukkan gigi? Kalaupun bisa dijembatani, tidak dipungkiri energy serta biaya yang dikeluarkan relative banyak. Saat ini, gejala tersebut sudah terasa dan kelihatan ekses dari menterjemahkan otonomi daerah yang salah kaprah dan arogan.
     Kewenangan BKKBN kian tergerus dari hari ke hari. Apakah ini ‘roh’ dari pelembagaan program, dalam bentuk pengalihan program kepada masyarakat? Mulai ujung tombaknya di tingkat desa diambil oleh kabupaten/kota, kini di tingkat propinsi ada lembaga yang menangani hal serupa, propinsi Jawa Barat sudah memproklamirkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB. Komposisi kepemimpinan di badan ini lebih banyak urusan perempuannya, dibanding dengan KB. Apakah merupakan repleksi KB tidak begitu strategis di Jabar? Atau persoalan KB sebagian ditangani oleh BKKBN Jabar. Namun apapun itu, inilah dinamika dari suatu perubahan yang cepat. Kalau tidak diantisipasi kita akan ketinggal. Pada tataran kabupaten/kota, ada sedikit ‘kegamangan’ dengan hadirnya lembaga baru, karena ditingkat propinsi ada dua ‘dunungan’. Suatu hari ketika aparat kabupaten bertanya, apakah laporan harus diberikan kepada dua-dunya? Satu untuk BKKBN Jabar dan satu lagi untuk Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB? Tugas paling mendesar adalah duduk bersama melakukan sosialisasi dengan kehadiran badan baru di tingkat propinsi. Mana wilayah BPPKB dan mana wilayah BKKBN. Semuanya penting agar tidak terjadi tumpang tindih, hingga menghasilkan cost yang besar. Saudara tua dan saudara muda itu, sepertinya dikejar waktu untuk terus berdiskusi, di damping Bappeda Jabar. Jangan diam saja, saling ngintip atau menunggu siapa yang akan memulai. Tidak ada waktu lagi untuk berdiam diri, apakah konsepnya sudah muncul? Siapa berbuat apa? Kalaupun selama ini ada komunikasi antara keduanya, apakah sudah intens dan masuk pada issue yang paling mendasar? Atau hanya sekedar basa basi semata?Pada hakikatnya tujuan perubahan suatu lembaga atau institusi dapat dijabarkan antara lain; perubahan yang mengupayakan perbaikan kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya. Perubahan itu merupakan perubahan prilaku karyawannya. Apabila memang perubahan dalam suatu organisasi merupakan kebutuhan dan tuntutan, maka perubahan yang benar adalah apabila perubahan tersebut dilaksanakan secara terencana dan sistematis. Bukan perubahan yang terjadi secara kebetulan. Perubahan direncanakan secara sistematis dan terencana, diharapkan tujuan yang tertuang pada visi dan misi dapat tercapai. Tidak gampang melakukan suatu perubahan, apakah itu perubahan organisasi, ataupun prilaku karyawannya. Apalagi perubahan dilakukan kepada organisasi dan karyawan, karena keduanya bersinggungan.
     Ditilik lebih dalam, pada hakekatnya manusia cenderung menolak perubahan sepanjang perubahan tersebut tidak menguntungkan bagi dirinya. Syahwat manusia ingin ‘untung sendiri’, bisa terjadi pada setiap tingkatan organisasi. Dari pucuk pimpinan tertinggi, hingga yang terencah sekalipun cenderung menolah perubahan. Tetapi apabila perubahan itu menguntungkan dirinya, maka ia adala orang yang terdepan menerima perubahan tersebut. Dalam konteks perubahan, sebenarnya perubahan akan bisa berjalan dengan baik apabila terjadi komitmen dari seluruh tingkatan manajemen. Sedangkan kendala yang paling berat, apabila di setiap tingkatan sulit menerima perubahan itu sebagai tantangan. Disinilah peran perencana pembangunan ditantang agar mengeluarkan konsep yang tepat dan sesuai dengan zamanny. Bukankah kita tidak mengingkan terjadi ‘baby boom’ kedua?
     Mengamati perkembangan kelembagaan dan kewenangan BKKBN pada decade terakhir ini, berjalan sangat cepat. Ada beberapa hal yang menanti di sana. Bila tidak berubah kelembagaan BKKBN di tingkat propinsi, maka yang perlu dipikirkan adalah strategi dan orientasi program berubah sesuai dengan perkembangan. Tidak ada ‘protap’ abadi dalam dunia yang terus berubah. Seandainya program dan strategi diluncurkan tetap ‘kaku’ tidak punya daya dobrak yang lebih signifikan, BKKBN akan ditertawakan dan ditinggalkan. Bisa jadi lembaga lain sudah cukup familier dengan program, mengingat program KB relative lama. BKKBN harus mempunyai konsep ‘menggandeng’ secara maksimal instansi, LSM dan lembaga lainnya. Kualitas data yang dimunculkan bukan hanya data base yang statis. BKKBN harus mempunyai data base yang dinamis, di mana tergambarkan dinamika social yang sedang terjadi di masyarakat. Bila BKKBN hanya mempunyai data base statis, apa bedanya BKKBN dengan lembaga lain yang memunculkan data.    Paling angkanya saja yang berbeda. BKKBN harus bisa merekomendasikan, kenapa angka jadi begini dan bagaimana mengatasi perubahan itu. Kalau BKKBN sudah berani masuk di wilayah demikian, sudah pasti BKKBN akan terus dijadikan referensi valid bagi pembangunan yang berkelanjutan. Di sini dituntut kemampuan analisis yang dimiliki oleh elite BKKBN, tentang permasalahan KB dan kependudukan.
     Perubahan yang cepat membuat kinerja BKKBN penuh talenta. Gaya komunikasi, pola-pola kerjasama, strategi mensukseskan program, disesuaikan dengan dinamika perubahan. Konsep program yang dinamis tidak bisa menanti, karena perubahan sudah terjadi. Elita BKKBN diharapkan bisa arif membaca perubahan ini. Bagaimana pun juga, pendekar-pendekar KB tetap merupakan pahlawan pembangunan. Siapapun dan struktur apapun di mana ia bekerja. Lelah memang untuk mengurus program. Tetapi itulah kehidupan yang terus berubah. Penulis teringat ucapan seorang sufi besar ; “Kehidupan tasawuf membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Alloh SWT. Begitulah hendaknya kinerja para pendekar KB. Semoga Amin.*
(Soeroso Dasar, Program KB di Tengah Gempitanya Perubahan; ‘Bunga Rampai’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar