Senin, 17 Januari 2011

Program KB Ternyata Masih Ada

ACUNGAN jempol serta decak kagum, sangat pantas dan jujur diberikan kepada BKKBN Jabar, jika harus mengomentari sepak terjang perjalanan roadshow KB KES PANTURA  yang berlangsung dari tanggal 19-23 Januari 2009. Walaupun hanya merengkuh 4 kabupaten di wilayah PANTURA, yaitu Subang, Indramayu, Cirebon dan diakhiri Pra Rekerda di Kuningan, terasa KB masih ada. Tidak begitu penting bagi penulis tentang berapa jumlah akseptor yang terjaring pada saat itu.
     Tetapi cara BKKBN ‘menghampiri’ public kembali dengan ‘meneriakkan” KB masih ada. Membuat bendera KB berkibar tinggi. Pesan komunikasi itulah sebenarnya yang harus dicatat oleh kita semua, ketika program terasa redup dan sayup-sayup. KB selama ini terasa kurang ‘menggemaskan’ untuk diangkat sebagai isu di media, hendaknya dicari format yang cerdas. Isu KB kalah dengan berita politik, musibah, ataupun kehidupan artis. Kondisi demikian hendaknya dibaca bukan sebagai hambatan, tetapi disikapi oleh semuanya sebagai tantangan. Itulah dinamika sosial yang sedang bergulir di negara kita. Prilaku yang berubah, serta sitem nilai yang hedonis mengemuka.
     Publik kerap bertanya, “Masih adakah program KB?” Bahkan aparat pemerintah sendiri merasakan gerakan program menghilang. Dulu program KB yang demikian ‘menggigit’ dan cemerlang, tiba-tiba secara perlahan tergerus. Dulu hampir setiap aparat yang ada  di tingkat desa dan kecamatan ’menikmati’ dana dari program KB. Kini terasa kering. Di mana program KB itu sekarang? Itulah kata kata sedih yang terlontar dari aparat di desa dan kecamatan. Apalagi struktur otonomi daerah, KB pun semakin kerdil. Tenggelam dengan program pembangunan lainnya. Fenomena ini bisa dimengerti, karena ketika program mendapat dukungan penuh dari badan atau organisasi kependudukan dunia, KB adalah primadona di pedesaan. Pada tahap tertentu, dimana dunia mengakui keberhasilan KB di negeri ini, bantuan itupun secara perlahan ditarik atau bisa saja dana tersebut dialihkan ke departemen lain. Sayang, kondisi tersebut kita belum siap menghadapinya. Mungkin relatif cukup lama dinamika program didukung dana maksimal berjalan. Sehingga, terpolakan setiap kegiatan harus ada dananya. Itulah yang belum bisa dihilangkan. Tetap melekat pada benak warga dan aparat. Padalah semuanya sudah berubah. KB adalah program suci untuk kemaslahatan umat manusia, seharusnya disukseskan, ada atau tidak ada dana sama sekali. Kebekuan dalam merespon program KB belakangan ini, dan minimnya dukungan dana, diterobos melalui roadshow PANTURA KB KES, setelah sebelumnya diawali roadshow di Pantai Selatan.
     Apabila keberhasilan roadshow hanya diukur melalui data data kuantitatif (seperti akseptor baru), tentulah merupakan pandangan picik dan dangkal yang harus ditinggalkan. Justru keberhasilan roadshow lebih jitu dilihat dari perubahan paradigma pandang (mainset) publik. Sistem nilai tersebut harus dibentuk dan merupakan target sasaran. Seberapa jauh ‘gempuran’ roadshow, yang  merupakan iring-iringan mobil MUPEN KB, pertemuan-pertemuan di tempat tertentu, serta pemutaran film di malam hari, “menggetarkan’ hati dan menjawab bahwa KB masih ada. Bagaimana ‘getaran KB’ masih mampu masuk ke dalam sanubari publik dan dalam relung hati yang paling dalam. Ternyata hasilnya begitu mengagumkan. Kerinduan masyarakat terhadap kampanye program KB, luar biasa. Ya, ternyata KB masih ada. Oh....KB. demikian komentar publik. Dengan sedikit kaget. Wajar, karena sudah cukup lama tidak melihat simbol-simbol KB diarak, baik di media cetak, elektronik, ataupun lainnya. Pada sisi lain, aparat di tingkat kabupaten sangat antusias menghampiri roadshow KB KES. Sejenak terlupakan masalah nomenklatur yang selama ini sebagai wacana yang diperdebatkan. KB adalah untuk semuanya, dan KB adalah milik semuanya. Demikianlah yang tergambarkan. Semangat membangkitkan program kembali menyeruak di wajah-wajah lelah PLKB, kader, ketika berbaur dengan peserta roadshow. Inilah nilai-nilai positif yang tidak bisa diukur dengan angka dan uang.
     Momentum waktu yang dipilih sangat tepat. Apabila roadshow dilakukan bulan Pebruari atau Maret, gemanya nyaris tenggelam dengan kampanye partai politik. Respon masyarakat tidak optimal, aparatpun sibuk urusan persiapan pesta demokrasi. Nuansa politik akan sangat kental, dengan jargon jargonnya. Bahkan, jangan jangan bisa dituduh mengkampanyekan salah satu partai tertentu. Inilah yang dihindari serta alasan kuat. Memilih waktu yang tepat, dana terbatas, tetapi mempunyai hasil maksimal. Secara cost benefit, pelaksanaan roadshow dapat dikatakan berhasil. Kegiatan seperti ini dengan sentuhan penyempurnaan sedikit bisa dijadikan pola untuk tingkat nasional. Ada kebersamaan di sana. Ada semangat yang mengalir di sana. Dan ada kebutuhan untuk mensukseskan program secara bersama-sama di sana. Semuanya terbangkit dan kembali terbakar semangatnya. Semua pihak tetap mengedepankan keberhasilan program KB, memberikan prioritas utama dalam proses pembangunan.
     Roadshow mengajarkan kepada kita, komunikasi dengan publik tidak harus selamanya menggunakan cara cara konvensional. Bahkan bisa jadi cara cara konvensional menjadikan publik jenuh. Begitu juga mengkomunikasikan program secara berlebihan bisa terjebak pada ’polutet communication’. Mengkomunikasikan program hendaknya disusuaikan dengan ruang dan waktu. Kecerdikan dalam memilih media komunikasi inilah yang mengantarkan roadshow KB KES relatif sukses dan berhasil mencapai sasaran. Hubungan propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, lebur menjadi satu melalui kegiatan ini. Padahal, biasanya ’egoisme’ muncul sebagai repleksi raja raja kecil di era otonomi daerah. Kuncinya sederhana, yang penting bagaimana cara kita menghampiri mereka dengan simpatik. Bukan mengajari dan menggurui, bahkan sebaliknya BKKBN tidak tampil, tidak perlu duduk di atas panggung, tidak perlu bicara. BKKBN hanya mensupport, mendorong, membuat simulasi kegiatan. Biarlah mreka yang diatas panggung, para bupati, SKPD, LSM atau apalah namanya. Ini baru namanya program semakin maju, dan program sudah diserahkan kepada masyarakat. Bukankah begitu salah satu indikator pelembagaan program? Kalau BKKBN masih di depan, duduk di panggung, rasanya bukan saatnya lagi.
     Mengajak orang ikut program KB memang tidaklah gampang. Karena kita sudah masuk dalam wilayah hak asasi manusia. Ikut atau tidak ikut KB, adalah hak asasi. Belakangan, persoalan hak asasi terasa nyaring dikumandangkan. Pemangku program cerdas dan arif dalam mengkomunikasikan program. Sisi yang aman dan akomodatif, serta berpikir akan dampak program untuk jangka panjang menjadi prioritas. Perlu diingat, dalam teori komunikasi, ada tingkatannya. Mulai dari tingkatan memberitahukan, membujuk, serta mengingatkan. KB yang programnya sudah cukup lama, sampai pada tahapan mengingatkan. Walaupun bagi segmen tertenu masih harus berada dalam tahap pemberitahuan. Itulah Indonesia, aneh dan penuh dengan keberagaman.*
(Bunga Rampai, Program KB di Tengah Gempitanya Perubahan; Soeroso Dasar)