Minggu, 09 Januari 2011

KB Bukan Anak Tiri

RESPON setiap Kabupaten/Kota untuk mengembangkan program Kependudukan/KB tidaklah sama. Semuanya sangat tergantung dari dinamika daerah itu sendiri. Dukungan dan penolakan secara terbuka maupun sayup-sayup terlihat dengan kasat mata. Banyak alasan serta pertimbangan kenapa manajemen Kabupaten/Kota melakukan demikian. Salah satunya karena pemahanan tentang betapa pentingnya program diapreasiasi berbeda. Mengutip ucapan Direktur Advokasi Rukman, apabila KB gagal tidak ada jembatan yang runtuh. Sindiran ini sangat ‘ menggigit’ bagi mereka yang mengerti dan sayang terhadap Republik tercinta ini. Tetapi dengan gagalnya program KB, penduduk negri bisa bertambah lebih dari 30 juta dalam beberapa tahun lagi. Sebuah ancaman besar bagi proses pembangunan bangsa. Pola pikir dalam jangka panjang seperti ini inheren harus ada di dalam pemikiran manajemen Kabupaten/Kota. Masalah peningkatan kesehatan, pendidikan yang hari ke hari belakangan keras diteriakkan, bagus. Tetapi harus diingat, semuanya berinduk dari tumbuhnya penduduk yang belum terkendali. Seorang pejabat eselon 2 di salah satu kabupaten yang dilewati roadshow mengatakan, “kalau 20 persen untuk pendidikan, bagaimana jalan yang rusak? Tetap saja pembangunan pisik menjadi primadona". Jadi, ‘human investmen’ bukan ukuran kemakmuran. Kemakmuran tampaknya mempunyai indikator seperti  jalan licin, mal, dan atribut modern lainnya. Maka tidak heran kalau KB dalam nomenklaturnya di kabupaten kota, seperti ‘anak tiri’. Di mana stigma sudah membekas, bahwa anak tiri pantasnya diabaikan saja.
     Pihak masyarakatpun demikian, selalu melihat akibat bukan sebab. Seorang teman yang menjadi mahaguru di Unpad pernah menyindir, negeri ini pejabat daerahnya hanya bekerja 2 tahun saja. Tahun pertama adaptasi dan belajar, tahun kedua dan ketiga bekerja, sedangkan tahun keempat dan kelima, cari bekal atau sibuk manuver agar terpilih lagi. Kembali kepada masalah KB yang programnya sudah cukup lama, seharusnya sudah ‘terbang jauh’ ke awan. Inilah persoalan besar yang harus dibedah kenapa mimpi tersebut belum berhasil semuanya. Akar permasalahnya apakah terletak di persoalan culture, manajemen, dana atau apa. Tanpa mampu mengidentifikasi akar permasalahan, yang terjadi adalah ‘tambal sulam’. Padaahal, ‘serdadu’ ujung tombak yang selama ini dipersiapkan oleh BKKBN cukup baik. Lihat, data di daerah pedesaaan, BKKBN ‘tampil beda’ dengan survey atau kajian instansi lain. Walaupun beda, akurasinya sering dirujuk oleh peneliti dan ilmuwan  karena lebih bisa dipertanggungjawabkan. Data yang dimunculkan BKKBN, tau formatnya, siapa yang mengerjakan, dan kapan dikerjakannya. Maaf tidak bermaksud menyudutkan instansi, data lain yang terkadang bisa mengundang ‘bias’ untuk digunakan sebagai bahan analisis.
     Mobilitas tinggi dari SDM yang menjadi ‘ujung tombak’ BKKBN selama di lapangan (pengawas PLKB dan PLKB) demikian pesat. Hendaknya fenomena tersebut juga dilihat dari sisi positifnya. Hal ini tidak bisa dijadikan suatu alas an untuk ‘mencari kambing hitam’, bahwa mobilitas itu sebagai salah satu dilemma. Dinamika pembangunan yang terjadi mengharuskan mobilitas yang tinggi. Beberapa aspek perlu dipikirkan adalah karier PLKB dan tingkat kejenuhan sebagai manusia biasa. Bisa jadi pengganti PLKB yang baru penuh dinamika dan menjadi tantangan pekerjaan lapangan tersebut? Menarik dicermati, kemajuan pesat program belakangan, justru terjadi katika otonomi daerah berlangsung. Maka, menunjuk otonomi daerah salahs atu penghambat adalah tidak bijaksana. Awalnya memang ada sedikit ‘kegamangan’ Kabupaten/Kota tentan gprogram, namun belakangan sudah mencair. Walaupun proram terus bergulir, sisi lain ancaman pertumbuhan penduduk semakin ganas. Mengingat strukturnya memungkin, peluang dari ‘luar’ BKKBN bisa saja muncul secara tiba tiba mengelola KB sebagai manajemen atau jung tombak di lapangan. Bila demiiian, format pelatihan menjadi penting untuk mengisi ‘ilmu KB/Kependudukan’ yang lebih luas bagi ‘pemain-pemain baru’ tersebut. Pola-pola pendekatan dan komunikasi tentang kependudukan/KB harus semakin intens disosialisasikan. Karena KB mengurus manusia, dia tumbuh dinamis, dengan konsepnya sarat dinamika. Menariknya bila kita teropong dalam proses bongkar pasang manajemen SDM yang menangani persoalan KB/Kependudukan adalah apabila orang dari luar BKKBN mampu mengendalikan program dengan baik, bahkan bisa saja lebih baik dari ex BKKBN sendiri, ini suatu kemajuan besar. Kita harus jujur menilainya. Semuanya sudah berubah, program tidak bisa ‘dipeluk’ sendiri oleh BKKBN dalam arti yang luas. Itulah dia roh dinamika pembangunan, dimana ilmu social sudah mengingatkan bahwa dinamika kehidupan terus berputar dan berproses.
     Perjalanan yang meletihkan karena jalan penuh lobang di daerah Indramayu, ada segumpal harapan tentang kemajuan program KB. Ya, KB memang masih ada. Jangan dilihat dari berapa besar biaya yang dikeluarkan. Tetapi bagaimana pandangan masyarakat kembali diingatkan tentang program KB. Ketika mobil mupen dari seluruh kabupaten berbaris, terasa kekuatan lebih bersinergis. Ada magnit muncul dari iring-iringan  mobil yang mengikuti roadshow PANTURA. Tidak sendiri, ada kebersamaan di sana. Ini suatu yang mahal sekali. Karena, dengan kebersamaan semua permasalahan besar dapat dikendalikan dan diselesaikan. Tidak ada yang terdepan, dan tidak ada yang lebih hebat. Seorang wartawan, siap duduk di atas kap mobil untuk mengambil gambar terbaik sambil mobil berjalan. Seorang wartawan mengangkat peralatan advokasi, guna penyampaian film,  seorang ibu PKK membagikan makanan dan minuman khas daerahnya. Seorang kader yang cukup umur menyapa iringan mbol dengna penuh semangat. Semuanya turun bersama mensukseskan kegiatan roadshow PANTURA. Roadshow dijadikan ‘perekat’ kebersamaan. Walaupun masih ada beberapa pandangan dan sikap individu yang ingin menonjol. Sebagai manusia, wajar saja bila suaut ketika ingin lebih menonjol dari yang lain. Pengabdian suatu program haruslah tidak diukur dengan uang, penghargaan, penghormata. Tetapi pengabdian untuk pembangunan, terukur dari hati nurani agar menjadi manusia terbaik. Manusia seperti inilah sebenarnya yang mengibarkan panji panji pembangunan tanpa reserve. Rasulullah SAW pernah bersabda ‘kebinasaan umatku ada dalam 2 hal, pertama meninggalkan ilmu dan yang kedua mengumpulkan harta.’ Merujuk pada pernyataan Rasulullah SAW, roadshow PANTURA hendaknya dijadikan pelajaran berharga dalam menangkap aspirasi masyarakat tentang program KB. Kondisi lapangan berbeda, diserap dari kunjungan melalui roadshow, merupakan catatan sendiri disudut relung hati yang paling dalam. Pelajaran berharga, ketika kita memperoleh informasi dari tangan pertama langsung, tanpa terjadi bias. Ataupun informasi program kita lihat sendiri, tanpa ada seleksi ataupun editing yang bisa saja hanya menonjolkan sisi keberhasilan. Inilah pelajaran berharga dari kunjungan darah. Tinggalkan acara formal dan resmi, berbaur dengan public dan dengar secara seksama apa yang diinginkannya. Observasi dan komunikasi demikian bisa memperoleh data yang valid.
     Melihat data data yang ada di BKKBN, sebenarnya persoalan KB dan kependudukan di Jabar, terkunci pada dua masalah besar. Pertama, usia kawin muda harus ditekan. Kedua tingkat migrasi yang relative tinggi. Di beberapa daerah (misalnya Kuningan), masyarakatnya mempunyai kemampuan ekonomi ‘terlalu cepat’, membuat usia kawin relative muda relative tinggi. Kuningan pada umumnya mencari nafkah di kota kota besar. Bergerak di sector UKM perdagangan memang berhasil. Tidak ada yang salah bila masyarakat Kuningan ‘terlalu cepat’ mandiri secara ekonomi. Yang perlu dibenahi adalah bagaimana caranya di satu sisi secara ekonomi relative mapan, tetapi usia perkawinan tidak terlalu muda. Secara psikologis suami istri yang terpisah kota, bila terjadi kebersamaan peluang menambah keturunan relative besar. Cirebon yang merupakan simpul ekonomi di kawasan Ciayumajakuning, mengundang dan mempunyai daya tarik ekonomi tinggi. Ini adalah harga yang harus dibayar dari suatu proses pembangunan. Kawasan Cirebon mempunyai daya tarik bagi daerah di Jawa Tengah yang berdekatan dengannya. Pada umumnya migran tersebut di usia produktif, yang merupakan sasaran bidik program. Belum ada kajian jauh, bagaimana prilaku para migran terhadap program KB/kependudukan di Jawa Barat.
     Gebyar roadshow yang dilakukan di pantai PANTURA berjalan secara baik dan relatif cukup berhasil. Perlu dipikirkan ke depan adalah masalah masalah yang lebih strategis terjadi di daerah daerah dilalui. Mungkin perlu juga ada semacam ’diskusi kecil’ disetiap daerah yang dilewati, untuk menjaring permasalahan yang ada. Seremonial yang dilakukan guna memberitahukan KB masih ada...tidaklah salah. Tetapi kalau menggali permasalahan lebih jauh, serta mencari solusinya tentu akan lebih bermanfaat. Apabila roadshow PANTURA dilakukan sekaligus dengan kegiatan diskusi yang sedikit berbau akademi, tampaknya pihak BKKBN terkendala dengan SDM yang ada dan waktu. Kedepan bisa saja hal demikian disetting lebih awal, dengan melibatkan Pemda Jawa Barat. Apakah dilaksanakan di malam hari atau dicari waktu luang. Memang, idealnya satu kabupaten/kota waktu roadshow dilakukan selama paling tidak 2 (dua) hari. Untuk suatu langkah awal, roadshow PANTURA cukup baik dan sukses. Perbaikan demi perbaikan harus dilakukan terus guna memperoleh hasil maksimal. Sebaliknya Pemda Jawa Barat memberikan perhatian lebih dalam segalanya, karena pada akhirnya program KB bermanfaat bagi pembangunan Jawa Barat.
     Energi yang dikeluarkan untuk roadshow PANTURA memang ’luar biasa’. Tetapi hasil yang diperoleh dalam kacamata penulis adalah ’sangat luar biasa’. Persoalan lapangan, BKKBN jagonya. Itu sudah terbukti dan teruji. Tetapi seperti yang penulis sebutkan dimuka, seberapa jauh efek multiplier dari program mampu diukur. Seberapa jauh KB sudah mampu ’dilepas’, sehingga yang berdiri terdepan dan berbaris untuk mensukseskan program bukan BKKBN? Apakah sudah waktunya BKKBN mundur secara perlahan, dan duduk manis dibelakang meja merancang bersama Bapeda membuat strategi? Sayangnya, pihak yang herus menerima pelaksanaan program ’belum maksimal’. Jadilah BKKBN turun lagi dan ’menggedor’ bahwa program KB masih ada.*
(Bunga Rampai, Program KB di Tengah Gempitanya Perubahan; Soeroso Dasar)